Rabu, 29 Januari 2014

Filled Under:

Wahsyi bin Harb (Tombaknya Membunuh Orang Terbaik dan Terburuk).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


     Sebuah tombak melesat dengan tepat mengenai tubuh sang nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab. Terbunuhnya sang nabi palsu ini, menandakan kemenangan bagi kaum Muslimin atas kekalahan kaum Murtad.  Hal ini sekaligus menumpas gerakan murtad di Perang Yamamah di tahun 12 H.

     Wahsyi bin Harb sang pemilik tombak in, membuktikan keseriusannya untuk membela agama Allah dengan membunuh manusia terburuk di zamannya. Ini dilakukannya untuk menebus kesalahannya di masa lampau, yakni sebuah kesalahan yang selalu mengusik kehidupannya karena ia telah membunuh sosok yang amat dicintai oleh Rasulullah.

     Wahsyi bin Harb, sebuah nama yang menunjukkan kebuasan dirinya. Dalam bahasa Arab, Wahsyi berarti buas dan Harb memiliki arti perang. Sejarah mulai mencatat kehidupan Wahsyi, seorang berkulit hitam  asal Habasyah saat ia berada di Mekkah menjadi budak seprang pembeasr Quraisy, Jubair bin Muth’im.

     Seperti kebanyakan orang di zaman itu, orang-orang Quraisy memperlakukan budak dengan tidak semestinya. Seperti halnya Jubair bin Muth’im, ia memperlakukan Wahsyi dengan tidak manusiawi. Saat itu bdak dianggap tidak memiliki nilai. Mereka seolah terlahir hanya untuk mengabdikan seluruh hidupnya kepada sang majikan. Maka begitu wajar jika para budak termasuk Wahsyi begitu merindukan kebebasan.

     Namun bagi Wahsyi, impian menjadi manusia yang mereka hanya bisa menjadi angan-angannya saja. Sebab ia merasa tak memiliki kesempatan untuk bebas dari perbudakan yang selama ini mengikatnya. Hingga tiba saatnya Allah mengutus Rasulullah menebarkan hidayah di muka bumi.

     Saat itulah Islam mulai mengajarkan persamaan derajat manusia. Saat itu juga penduduk Mekkah terutama dari kaum lemah satu persatu mulai mengikuti ajaran Rasulullah. Termasuk di antaranya adalah Bilal bin Rabah. Namun tidak dengan Wahsyi bin Harb, ia tak percaya Islam mampu memberinya persamaan derajat manusia. Ia juga tidak mau menerima resiko kemarahan sang majikan apabila ia memeluk Islam.

     Nampaknya ada hal yang perlu kia amati mengapa ada perbedaan di antara Bilal dan Wahsyi. Padahal secara status sosial, keberadaan mereka, asal mereka, dan warna kulit mereka sama. Tetapi ketika Islam mulai menerangi Mekkah, tentu saja Bilal kedudukannya lebih tinggi daripada Wahsyi. Dan tidak mengherankan ketika kita membaca sejarah awal keduanya, sejak mereka berdua berada di Mekkah, dan sejak Rasulullah memulai dakwahnya, Bilal bin Rabah itu sudah bersemangat sekali untuk menerima hidayah itu. Sementara Wahsyi belum semangat untuk menerima hidayah dari Rasulullah, maka dari itu berbeda sekali kedudukan di antara keduanya. Bilal dengan semua keberaniannya mempertahankan ketauhidannya walaupun disiksa oleh majikannya. Sementara Wahsyi ia ingin mempertahankan hidupnya dengan pertukaran apapun walaupun dengan membunuh sebaik-baik orang, Hamzah bin Abdul Muthalib.

     Datangnya Islam benar-benar memancing kemarahan masyarakat Quraisy. Apalagi setelah mereka dikalahkan oleh kaum Muslimin di Perang Perdana, Perang badar di tahun 2 H. Tidak sedikit tokoh Quraisy yang tewas dikalahkan oleh kaum Muslimin. Kekalahan tersebut menyisakan duka dan dendam yang mendalam. Tidak ada jalan lain selain menuntut balas di peperangan selanjutnya.

     Akhirnya, waktu Perang Uhud pun tiba. Orang-orang Quraish keluar, disertai oleh sekutu mereka dari berbagai kabilah Arab lainnya. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan. Target utama para pemuka Quraish kali ini adalah dua orang saja, yaitu Rasulullah dan Hamzah. Memang benar, dari buah pembicaraan dan provokasi yang mereka gembor-gemborkan sebelum perang, dapat diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah sebagai sasaran dan target peperangan ini.

     Momen balas dendam inilah yang membuka jalan Wahsyi menuju gerbang kebebasannya. Karena sang majikan, Jubair bin Muth’im akan memberinya imbalan yang sangat berharga, yakni membebaskannya jika ia berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah. Kala perang meletus, paman Jubair ini tewas di tengah medan perang dan ia ingin menuntut balas, sehingga ia berkata kepada Wahsyi, “Berangkatlah bersama orang-orang itu! Jika kamu berhasil membunuh Hamzah, kamu bebas.

     Kemudian mereka bawa budak itu kepada Hindun binti Utbah, yakni istri Abu Sufyan, agar dihasut dan didesak untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Pada Perang Badar, Hindun telah kehilangan ayahnya, pamannya, saudaranya, dan putranya. Ia mendengar berita bahwa Hamzah-lah yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang menyebabkan terbunuhnya yang lain. Karena itu, tidak aneh bila di antara orang-orang Quraish, baik laki-laki maupun perempuan, dialah yang paling getol menghasut orang untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kepala Hamzah, meski harus dibayar dengan harga berapa pun.

     Berhari-hari lamanya sebelum peperangan dimulai, tidak ada sesuatu pun yang dilakukan oleh Hindun selain menghasut Wahsyi, serta menumpahkan segala dendam dan kebenciannya Hamzah dan merencanakan peran yang akan dimainkan oleh budak itu. Ia telah menjanjikan kepada budak itu, andainya ia berhasil membunuh Hamzah, ia akan memberikannya kekayaan dan perhiasan yang paling berharga yang dimiliki oleh wanita tersebut. Sambil memegang anting-anting, permata yang mahal, serta kalung emas yang melilit lehernya dengan jari-jari yang penuh dengan kebencian, dan dengan pandangan yang tajam, ia berbisik kepada Wahsyi, “Jika kamu dapat membunuh Hamzah, semua ini menjadi milikmu.

     Air liur Wahsyi pun mengalir mendengar itu. Angan-angannya terbang melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat bertemu dengan peperangan yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan mangsanya, hingga ia tidak lagi menjadi budak, selain keinginan untuk segera memiliki barang-barang perhiasan yang selama ini menghiasi leher istri pemimpin dan putri tokoh suku Quraisy.

     Maka sembari membawa tombaknya, Wahsyi dengan semangat berangkat ke medan Uhud bersama pasukan Quraisy lainnya. Tujuannya bukan untuk membunuh musuh sebanyak-banyaknya, melainkan hanya satu yang menjadi incarannya, yaitu dengan membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib yang tak lain adalah paman Rasulullah. Hal ini dilakukannya adalah hanya untuk menemui kebebasannya sebagai manusia seutuhnya.

     Di saat sedang berlangsung, Wahsyi terus menyelinap di tengah-tengah medan perang sambil mengintai paman Rasulullah. Di tengah-tengah semangat jihad Hamzah bin Abdul Muthalib melawan para musyrikin, ia terus membidik Hamzah menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan tombaknya. Hingga tibalah saat yang tepat, dengan sigap ia melamparkan tombaknya dengan penuh harapan.

     Sekarang, mari kita persilahkan Wahsyi sendiri yang menuturkan tentang peristiwa tersebut:

     “Saya seorang Habasyah yang mahir melemparkan tombak dengan teknik khas Habasyah, hinnga jarang sekali lemparanku meleset. Tatkala orang-orang telah mulai berperang, saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah, hingga tampak di antara manusia tidak ubahnya bagai unta kelabu yang mengancam orang-orang dengan pedangnya hingga tidak seorang pun yang dapat bertahan di depannya.

     Demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya, saya bersembunyi di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya dekat. Tiba-tiba saya didahului oleh Siba’ bin Abdul ‘Uzza yang tampil di hadapannya. Tatkala Hamzah melihat mukanya, ia pun berkata, ‘Mendekatlah ke sini, wahai anak tukang potong kelintit <tukang sunat>!’ sejurus kemudianHamzah menebasnya dan tepat mengenai kepalanya.

     Ketika itu saya pun menggerakkan tombak dan mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya melemparkannya hingga mengenai pinggang bagian bawah dan tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. ia mencoba bangkit ke arahku, tetapi ia tidak berdaya lalu roboh dan meninggal.

     Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku, lalu kembali ke perkemahan dan duduk-duduk di sana, karena tidak ada lagi tugas dan keperluanku. Saya telah membunuhnya semata-mata demi kebebasan dari perbudakan yang menguasai.

     Tombaknya tepat mengenai tubuh Hamzah bin Abdul Muthalib. Wahsyi bin Harb berhasil membunuh paman tercinta Rasulullah. Di saat itu juga Hindun binti Utbah melampiaskan dendamnya dengan memakan jantung Hamzah bin Abdul Muthalib.

     Tragedi Uhud mengubah nasib Wahsyi bin Harb dan Kerinduannya menjadi manusia yang merdeka puntelah ia capai. Ia pun segera mengubah penampilannya menjadi layaknya manusia yang merdeka dari perbudakan.

     Namun, bukan sambutan baik yang ia terima. Ia justru mendapatkan cemoohan dari masyarakat Quraisy. Wahsyi masih saja direndahkan oleh masyarakat Quraisy. Perlakuan buruk yang ia terima tidak juga membuka hatinya untuk memeluk Islam. Padahal ia telah melihat kemerdekaan sejati pada diri Bilal bin Rabah yang dulunya bernasib sama seperti dirinya.

     Hidayah Islam justru baru hinggap di hatinya saat peristiwa pembebasan kota Mekkah. Di tahun 8 H, saat Rasulullah dan 10.000 umat Muslim lainnya berbindong-bondong datang ke Mekkah untuk mengembalikan kesucian kota Mekkah. Di saat kota Mekkah mulai dibebaskan oleh kaum Muslimin, Wahsyi justru melarikan diri menuju ke Tha’if.

     Tidak ada salahnya bila kita persilahkan Wahsyi untuk menceritakan kisahnya:

     “Sesampainya di Mekkah, saya pun dibebaskan. Saya tetap bermukim di sana sampai kota itu dimasuki oleh Rasulullah pada hari pembebasan. Akhirnya, saya lari ke Tha’if. Ketika utusan Tha’if menghadap Rasulullah untuk menyatakan keislaman, timbul berbagai rencana dalam pikiran saya. Saya berbisik di dalam hati, lebih baik aku pergi ke Syria, atau ke Yaman, atau ke tempat lain.

     Demi Allah, ketika saya dalam kebingungan itu datanglah seseorang mengatakan kepadaku, ‘Celakalah kamu! Rasulullah tidak akan membunuh seseorang yang masuk agamanya.’ Akhirnya saya pergi untuk menemui Rasulullah di Madinah. Beliau tidak melihatku kecuali ketika saya telah berdiri di depan beliau mengucapkan dua kalimat syahadat.

      Ketika melihat saya itulah, beliau bertanya, ‘Apakah kamu ini Wahsyi?

     ‘Benar, wahai Rasulullah,’ jawabku.

     ‘Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah!

     Saya pun menceritakan kisah tersebut. Setelah saya selesai bercerita, beliau bersabda, ‘Celakalah kamu, jauhkanlah wajahmu dari pandanganku!’……..

     Demi hormatnya kepada Rasulullah, ia pun tidak pernah menampakkan dirinya dihadapan Rasulullah. Ia hanya mampu menatap Rasulullah secara diam-diam. Ia memahami luka hati Rasulullah yang senantiasa sedih mengingat pamannya yang gugur di tangannya.

     Hingga Rasulullah wafat di tahun 11 H, Wahsyi tak pernah bertatap muka dengan Rasulullah. Maka inilah yang menjadi titik tolak bagi kehidupannya. Baginya tak ada jalan lain selain menebus semua kesalahan di masa lalunya dengan turut mengambil andil di setiap momen-momen perjuangan Islam.

     Di peristiwa Perang Yamamah di tahun 12 H, Ia menebus kesalahannya. Di masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia terjun di medan perang yang menumpas gerakkan murtad yang dipimpin oleh sang nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab. Di perang inilah tombaknya yang dulu pernah membunuh manusia terbaik, menancap di tubuh menusia terburuk, Musailamah Al-Kadzab. Sang nabi palsu pun tewas di tangan Wahsyi.

     Marilah kita dengarkan kelanjutan dari kisah sebelumnya, “Setelah itu, saya menghindarkan diri dari hadapan dan jalan yang akan ditempuh oleh Rasulullah agar tidak kelihatan beliau sampai saat beliau wafat. Tatkala kaum Muslimin bergerak untuk menumpas pemberontakan nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab yang menguasai Yamamah, saya pun ikut bersama mereka dan membawa tombak yang dahulu saya gunakan untuk membunuh Hamzah.

     Ketika orang-orang mulai bertempur, saya melihat Musailamah Al-Kadzab sedang berdiri dengan pedang di tangan. Saya pun bersiap-siap dan mengambil tombak sambil mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya lemparkan tombak dan menemui sasarannya. Dengan demikian, dengan tombak itu dahulu saya telah membunuh manusia terbaik, yaitu Hamzah; dan sekarang saya berharap Allah akan mengampuniku karena dengan tombak itu pula saya telah membunuh manusia terburuk, yaitu Musailamah Al-Kadzab.

     Di dalam naungan Islam, Wahsyi menghabiskan sisa hidupnya dalamkebaikan. Dalam cahaya Islam, Wahsyi merasakan benar-benar menjadi manusia merdeka yang hanya mengabdikan hidupnya kepada Allah. Begitulah Islam mengajarkan persamaan derajat manusia.

     Islam adalah agama yang sangat bersemangat untuk menghilangkan sistem perbudakan. Namun, Islam tidak bisa memaksa seseorang untuk membebaskan budak dari tuannya. Yang ada adalah Islam hanya memberikan motivasi. Umpamanya adalah orang yang melanggar sumpah atas nama Allah, maka salah satu tebusan dari kesalah itu adalah membebaskan budak. Kemudian umpamanya kesalahan sepasang suami istri yang berhubungan di siang hari di saat bulan Ramadhan, maka tebusannya juga membebaskan budak, dan begitulah seterusnya. Secara tak langsung, Islam memberikan motivasi kepada masyarakatnya untuk membebaskan budak.


     Begitulah kisah kehidupan dari manusia yang mulia ini, Wahsyi bin Harb. Semoga Allah meridhaimu, wahai Wahsyi.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf