Kamis, 23 Januari 2014

Filled Under:

Abu Hudzaifah (Saudara dari Sang ahli Ilmu yang Paling Beruntung).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Saat ketiga kesatria Muslim berhadapan dengan para jawara Quraisy di Perang Badar, tokoh terkemuka Quraisy, Utbah bin Rabi’ah bersama saudara dan anaknya maju menantang pihak Muslim untuk beradu keterampilan senjata. Sementara dalam barisan Muslim, Abu Hudzaifah yang tak lain adalah putra dari sang penantang duel, Utbah bin Rabi’ah, hanya bisa menyaksikan perkelahian sang ayah beserta keluarganya dengan kesatria Muslim. Meski di dalam hatinya yang terdalam, ia berharap supaya ia sendiri yang berhadapan langsung dengan sang ayah, agar dia tidak khawatir atas dendam terhadap pembunhan ayahnya yang dilakukan pihak Muslim atas kaum Quraisy.

     Di Perang Badar itulah Abu Hudzaifah menginginkan agar ia bisa bertarung dengan ayahnya. Maka ditantanglah ayahnya untuk perang tanding oleh Abu Hudzaifah. Tentu ini bukanlah anak yang durhaka, karena ini babnya adalah bab tentang akidah. Jika sudah memasuki bab akidah, maka tidak ada kompromi dalam posisi perang. Jika tidak dalam posisi perang, maka sang anak harus berbuat baik kepada orang tua walau pun sang orang tua bukanlah Muslim.

     Satu per satu para kesatria Muslim berhasil mengalahkan orang-orang Quraisy. Hingga akhrnya, Utbah bin Rabi’ah tokoh terpandang itu pun tewas di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib. Sebuah pemandangan memilukan bagi Abu Hudzaifah bin Utbah. Hatinya berkecamuk menelan kenyataan pahit saat menyaksikan kematian sang ayah tercinta di balik manisnya kemenangan duel para kesatria Islam atas jawara-jawara Quraisy.

     Abu Hudzaifah merupakan keturunan dari seorang terpandang Quraisy dari suku Abdu Syams, yang memiliki jalur kekerabatan dengan kakek Rasulullah, Hasyim bin Abdul Manaf. Ayahnya, Utbah bin Rabi’ah merupakan saudagar kaya raya yang dikenal dengan kecerdasannya serta keahliannya dalam malantunkan syair. Meski Utbah dikenal sebagai orang yang cerdas, ia tercatat oleh sejarah sebagai orang yang enggan menerima Islam. Meski pada akhirnya ia paham bahwa Muhammad adalah benar-benar seorang Nabi utusan Allah.

     Abu Hudzaifah juga mempunyai seorang saudari bernama Hindun binti Utbah yang merupakan perempuan yang dikenal sebagai perempuan pemakan jantung Hamzah di Perang Uhud. Di balik kerasnya sang keluarga dalam menolak Islam, Abu Hudzaifah bin Utbah justru tercatat sebagai generasi awal yang memeluk Islam.

     Ia memeluk Islam sebelum Rasulullah menjadikan rumah Arqam bin Abdul Arqam sebagai tempat dakwah dan belajar Islam di tahun ke 4 kenabian. Ia bersama sedikit Muslim lainnya belajar Islam secara sembunyi-sembunyi, sebab keislaman mereka akan memancing kemarahan dari tokoh-tokoh Quraisy seperti Utbah dan Abu Jahal, jika keislaman telah diketahui oleh mereka.

     Abu Hudzaifah memiliki seorang budak yang berasal dari Persia yang bernama Salim. Tidak seperti kebanyakan bangsa Arab lainnya yang memperlakukan budaknya dengan cara yang tidak manusiawi, Abu Hudzaifah justru sangat menyayangi Salim. Apalagi Islam datang dan mengajarkan persamaan derajat manusia.

     Abu Hudzaifah tidak pernah merendahkan Salim, bahkan ia kerap mengajak Salim makan bersamanya dalam satu piring. Inilah yang mengundang kemarahan sang ayah yang merasa kehormatan keluarganya sangat direndahkan. Ia tidak rela keturunannya duduk satu alas dengan budaknya, maka ia pun berkata, “Apa kata orang-orang Quraisy nanti jika mereka tahu kalau Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah, anaknya pemimpin Bani Abdu Syams, makan bersama dalam satu piring dan duduk bersama-sama?

     Namun, Abu Hudzaifah tidak sedikit pun mempermasalahkannya, maka Abu Hudzaifah pun menjawab, “Wahai ayahku, aku tidak peduli dengan pendapat orang lain karena aku memiliki pendapat dan pandangan sendiri. Dan aku menyayanginya seperti anakku sendiri.

     Maka selanjutnya, demi membebaskan status budak Salim, Abu Hudzaifah membuat keputusan yang mengejutkan ayahnya dan seluruh masyarakat Quraisy. Ia mengumumkan pembebasan Salim dari budak menjadi anaknya, dengan berkata, “Wahai orang Mekkah, wahai orang-orang Quraisy. Dengarkanlah aku. Mulai sekarang aku akan membebaskan Salim dari budak, dan aku telah mengadopsinya sebagai anakku sendiri. Mulai hari ini, namanya adalah Salim bin Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah. Dan dia menjadi ahli warisku.

     Tindakannya ini tentu saja menjadi aib bagi sang ayah yang harus merelakan namanya disandang oleh seorang budak. Sebab mau tidak mau ia harus menerima Salim karena sang anak sudah terlanjur mengumumkannya ke masyarakat. Utbah tidak sadar, bahwa tindakan anaknya ini didasari oleh Islam yang telah menjadi agama barunya.

     Salim kemudian dimerdekakan dan kemudian sempat diangkat sebagai anak oleh Abu Hudzaifah, sehingga panggilannya adalah Salim bin Abu Hudzaifah. Saat itu, dalil Al-Qur’an tentang larangan mengangkat anak belum turun kepada Rasulullah. Ketika turun ayat Al-Qur’an tentang pelarangan penisbatan nama anak angkat ke nama orang yang mengangkatnya, maka berubahlah nama Salim yang kemudian menjadi sebuah nama yang sangat terkenal, yaitu Salim Maula Abu Hudzaifah.

     Bersama sang istri dan anak angkatnya, Abu Hudzaifah membangun rumah tangga dalam keharmonisan. Salim yang dikenal sebagai ahli ilmu dan penghafal Al-Qur’an ini, seringkali mengajarkan Islam dan memimpin shalat bagi orang tua angkatnya. Hingga tanpa sengaja, keislaman mereka diketahui oleh keluarga Utbah bin Rabi’ah.

     Keislaman mereka membuat Utbah bin Utbah serta anggota keluarga lainnya mejadi berang. Utbah yang selama ini menentang ajaran Rasulullah, tak kuasa menahan marah saat mengetahui sang anak dan keluarganya telah memeluk Islam. Namun, Abu Hudzaifah dan keluarganya tetap kokoh dalam keislamannya. Hingga mau tidak mau, Utbah terpaksa menyembunyikan keislaman sang anak demi nama baiknya di hadapan para petinggi Quraisy lainnya.

     Meski akhirnya keislaman mereka diketahui masyarakat, sang ayah tetap memberikan perlindungan kepada Abu Hudzaifah dan keluarganya. Hubungan Abu Hudzaifah dengan sang ayah tetap terjaga meski mereka berdua berbeda keyakinan. Bahkan Abu Hudzaifah kerap kali mengajak sang ayah agar ia mau memeluk Islam. Namun hidayah tak kunjung tiba pada sang ayah.

      Bahkan hingga Abu Hudzaifah dan keluarganya bersama kaum Muslimin lainnya hijrah ke kota Madinah, Utbah tetap menolak Islam . Hingga akhirnya Utbah bin Rabi’ah, tokoh terpandang itu pun terbunuh oleh Hamzah bin Abdul Muthalib di Perang Badar.

     Saat Utbah mati, tubuhnya dan tubuh Abu Jahal bersama kaum Quraisy lainnya dilemparkan ke dalam sumur di badar, dan Rasulullah bersabda, “wahai Utbah, wahai Syaibah, wahai Abu Jahal,apakah kamu telah mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh tuhan kalian?” Dan para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka bisa mendengarkanmu?” Rasulullah pun bersabda, “Kalian tidak lebih bisa mendengar dibandingkan mereka.

     Kemudian Rasulullah melihat Abu Hudzaifah, yang ketika itu wajahnya terlihat sedih dan murung. Hal ini wajar karena Utbah merupakan ayahnya, walaupun  di medan pertempuran ayahnya mati dalam keadaan kafir. Dan Rasulullah pun bersabda, “Wahai Abu Hudzaifah, mungkin engkau sedih karena melihat ayahmu menjadi korban” Abu Hudzaifah pun berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak mempunyai keraguan apapun tentang masalah ini. Saya tidak mempermasalahkan tentang meninggalnya ayah saya. Saya sedih karena saya berharap bahwa ayah saya mau menerima dan memeluk Islam seperti saya.

     Hari-hari telah berlalu dan kenangan Abu Hudzaifah terhadap sang ayah yang diharapkannya dapat memeluk Islam, tak mampu terhapuskan dari ingatannya. Ia sering kali terlihat sedih saat teringat sang ayah.

     Namun, kesedihannya sudah terbayar dengan masuknya sang kakak ke dalam Islam, yakni Hindun binti Utbah di tahun 8 H. Dan Abu Hudzaifah pun berdoa kepada Allah, “Aku berdoa kepada Allah agar menetapkan hatimu dalam Islam dan membersihkan hatimu dari tradisi jahiliyah.

     Sebelum pertempuran Badar berlangsung, Rasulullah berpesan kepada umat Muslim agar tidak membunuh pamannya, Abbas jika mereka bertemu dengannya dalam pasukan Quraisy, karena Abbas tidak berniat untuk memerangi kaum Muslimin. Abbas ikut berperang bersama kaum kafir Quraisy karena terpaksa atas desakan kaum kafir Quraisy.

     Abu Hudzaifah yang juga memiliki kerabat di pihak lawan, merasakan hal yang tidak adil terhadap pesan Rasulullah tersebut. Bahkan, Abu Hudzaifah sempat bertekad untuk membunuh Abbas jika ia bertemu dengannya. Apalagi setelah ia menyaksikan tewasnya sang ayah pada duel pembuka sebelum pertempuran Badar berlangsung. Inilah yang membuat niatnya semakin kuat untuk membunuh Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah. Dia pun berkata dalam hatinya, “Jika saya bertemu dengan Abbas, maka akan saya bunuh dia.

     Namun, Abu Hudzaifah tidak bertemu dengan Abbas dan Abbas pun selamat. Selesai Perang Badar, dirinya merasa salah karena dirinya menentang pesan dari Rasulullah.

     Apakah kalian tidak melihat kebesaran hati dari Abu Hudzaifah? Mungkin saat ini anda sedang bertanya-tanya, di manakah letak kebesaran Abu Hudzaifah? Saat Abu Hudzaifah menentang pesan dari Rasulullah, dia berkata dalam hatinya akan membunuh Abbas. Walaupun perkataan ini berada dalam hatinya (bukan diucapkan secara lisan). Dia merasa bahwa dirinya sudah sangat bersalah karena sudah menentang kalimat Rasulullah. Inilah kebesaran dari seorang sahabat yang mulia, Abu Hudzaifah. Bagaimana dengan anda yang pernah menentang perintah Allah secara lisan dan terang-terangan?  Niat buruk yang sempat ia tunjukkan kepada Abbas, rupanya menjadi titik balik bagi Abu Hudzaifah dalam membela agama Allah. Meski tak ada seorang pun yang mengetahui niat buruknya tersebut. Ia begitu menyesali kekhilafannya.

     Sejak itu, ia bertekad untuk membayar kesalahannya dengan berusaha mendapatkan syahid di medan pertempuran. Maka seluruh momen jihad setelah Perang Badar, selalu diikuti oleh Abu Hudzaifah. Cita-cita Abu Hudzaifah untuk mendapatkan mati syahid baru terwujud di tahun 12 H di masa pemerintahan Abu Bakar.

     Di Perang Yamamah, perang yang menghadapi gerakkan murtad yang dipimpin oleh Musailamah Al-Kadzab sang nabi palsu, Abu Hudzaifah pun gugur sebagai syahid. Di Perang Yamamah pula, saudara angkat Abu Hudzaifah, yakni Salim, juga gugur sebagai syuhada.


     Sebuah persaudaraan akidah yang kelak akan dilanjutkan hingga ke surga. Subhanallah, mereka hidup bersama dan syahid pun bersama-sama. Betapa beruntungnya Abu Hudzaifah bin Utbah, betapa beruntungnya Salim sang ahli Al-Qur’an. Semoga Allah meridhai kalian semua.




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Saat melihat film omar... Saya jadj tau bgamana Salim yg dalam keadaan sekarat merangkak meraih tangan abu hudzaifah saat gugur bersama pada perang yamamah... Mereka d persatukam oleh Islam d dunia dan d akhirat

Unknown mengatakan...

MasyaaAllah...iya di film Omar tervisualisasi...Radhiallahu 'anhuma

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf