Selasa, 17 Desember 2013

Kondisi Umat Majusi saat Muhammad Diutus.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

a.   Kondisi Keagamaan

     Sebelum Zoroastrianisme muncul, di Iran telah berkembang kepercayaan terhadap dewa Mithra, Yema, dan Asya. Kepercayaan ini bertahan hingga munculnya ajaran Zoroaster, dan secara umum masih terpengaruh dan diwarnai oleh dinamisme yang senantiasa mengultuskan unsur-unsur alam seperti api dan bintang-bintang. Selain itu, di dalamnya juga diajarkan penyembahan terbanyak banyak tuhan.

     Adapun ajaran Zoroaster pada dasarnya adalah ajaran yang memerangi kepercayaan dan penyembahan terhadap dewa Mithra, Yema, dan Asya serta doktrin-doktrin pemujaan terhadap berhala. Terbukti di antara doktrin-doktrinnya yang paling menonjol adalah:
  • 1.      Mengajak manusia untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan berhala-berhala serta golongan Shabi’iyyah (penyembahan tehadap bintang-bintang dan kekuatan alam lainnya).
  • 2.      Mengajak manusia untuk menyucikan matahari dan api dalam kapasitas keduanya sebagai symbol Kekuatan Tunggal yang tidak pernah berhenti melimpahkan kasih sayang, cahaya, kelembutan, dan kesucian, serta senantiasa menolong manusia dari berbagai cara.
  • 3.      Mengajarkan kepada pengikutnya untuk memuliakan tanah, air, dan udara dalam kapasitas ketiganya sebagai sesuatu yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

     Sepeninggal Zoroaster, muncullah kelompok Majusi. Mereka adalah para penyembah api dan meyakini api sebagai tuhan. Mereka selalu memuja-muja api di dalam syair keagamaan mereka tanpa ingat sedikit pun bahwa sebenarnya api adalah symbol bagi kaum lemah (fakir miskin). Itu sebabnya mereka sering disebut sebagai penyembah atau pemuja api.

     Adapun ritual-ritual yang berlaku di masyarakat Persia sebelum munculnya Zoroastrianisme adalah ritual penyembahan terhadap berhala dan persembahan binatang kurban untuk tuhan-tuhan mereka, terutama dewa Mithra, dewa yang paling tinggi kedudukannya.

     Ketika Alexander Agung dari Macedonia menyerang Persia, tepatnya pada akhir abad ke-4 SM, ajaran Zoroaster sudah tidak tampak. Ia baru muncul kembali lima abad kemudian, tepatnya pada saat berdirinya dinasti Sassanid, sebab imperium baru ini ingin kembali kepada Zoroastrianisme sebagai salah satu agama kuno yang pernah ada di Persia. Sayangnya, ajaran Zoroaster yang diterapkan oleh dinasti Sassanid sangat berbeda dengan ajaran Zoroaster yang asli. Ajaran tersebut ternyata hanya digunakan sebagai alat untuk mewujudkan tujuan para penguasa dan kesewenang-wenangan para pendeta.

     Pada abad ke-3 SM, di tengah-tengah masyarakat Majusi muncul lagi seorang pembawa ajaran baru bernama Mani, ajarannya terkenal dengan sebutan Manichaeisme (Manuwiyyah). Ajaran ini merupakan sinkretisme ajaran Zoroastrianisme, Mani telah menyimpang dan murtad dari ajaran Zoroaster yang sebenarnya sehingga ia disebut sebagai seorang Zindiq (orang yang murtad).

     Alasannya menurut mereka adalah karena Manichaeisme selalu menonjolkan paham dualism dalam setiap ajaran dan doktrin. Sebagai contoh, Manichaeisme mengatakan adanya dualism kekuatan dalam setiap wujud. Bahkan, menurut ajaran Manichaeisme, alam semesta ini pun dikuasai oleh dua unsure: cahaya dan kegelapan. Cahaya merupakan sumber kebaikan, sedangkan kegelapan merupakan sumber kejahatan. Dikatakan bahwa keduanya sama-sama memiliki kemampuan untuk mengetahui. Lalu, kata mereka, ketika kedua kekuatan ini bersatu, alam semesta ini pun tumbuh berkembang dengan berbagai fenomena, peristiwa, materi, dan makhluk hidupnya…

     Manichaeisme juga mengatakan bahwa siapa saja yang membantu memperpanjang masa penyatuan kedua unsure (cahaya dan kegelapan) tersebut adalah orang-orang yang tidak baik. Adapun salah satu perbuatan yang mengarah pada hal itu adalah pernikahan dan berketurunan. Oleh karena itu, para penganut Manichaeisme mengajarkan kepada manusia untuk menjalani kehidupan asketis (selibat), serta meninggalkan segala hal yang terkait dengan proses berketurunan. Semua ini tidak lain adalah dalam rangka mempercepat kebinasaan alam semesta ini dan memisahkan cahaya dari kegelapan.

     Pada tahun 276 M, Mani (pendiri aliran Manichaeisme) dibunuh oleh penguasa Persia yang bernama Bahram, putra Hormizd I atau cucu Shapur I. tentang alasannya membunuh Mani, Bahram mengatakan, “lelaki ini datang dan mengajak untuk menghancurkan alam semesta. Maka sudah sepatutnya bila kita membunuhnya terlebih dahulu.

     Sekalipun mendapatkan tekanan sedemikian rupa, ajaran Manichaeisme tetap bisa eksin dan perlahan-lahan menjadi sebuah gerakan dakwah tersembunyi. Bahkan, ajaran ini masih ditemukan dan dianut oleh beberapa kalangan pada masa setelah kedatangan Islam.

     Pada penghujung abad ke-5 M, tepatnya pada tahun 578 M, muncul lagi sebuah ajaran baru yang disebarkan oleh Mazdak. Dalam ajarannya, Mazdak banyak mengikuti ajaran Mani dalam hal mendakwahkan hak kepemilikan bersama atas harta dan perempuan.

     Mazdaisme sempat diterima oleh raja Iran saat itu, Qubbadz. Namun, setelah menerapkannya di tengah-tengah masyarakatnya pada sepuluh tahun pertama masa kepemimpinannya, Qubbadz sedikit demi sedikit menemukan ketidakbenaran dari ajaran tersebut. Singkat cerita, Qubbadz akhirnya meninggalkan Mazdaisme dan membunuh Mazdak. Lalu pada tahun 529 M, Qubbadz berusaha menumpas seluruh pengikut Mazdak dengan melakukan penyerbuan dan penyisiran ke kantong-kantong massa mereka. Pada akhirnya, ajaran ini pun berubah menjadi sebuah gerakan rahasia dan mampu bertahan hingga era dinasti Sassanid. Tak lama kemudian, yaitu ketika Islam datang, mereka baru berani muncul kembali secara terang-terangan.

     Ajaran lain yang pernah tumbuh di Iran pra-Islam adalah ajaran Marquniyah. Nama ini dinisbatkan kepada pencetusnya yang bernama Marqiyun. Ajaran ini pun berangkat dari paham dualism. Singkatnya, mereka meyakini bahwa cahaya adalah penciptaan kebaikan, sedangkan kegelapan adalah pencipta keburukan. Ajaran ini juga diwarnai oleh unsur-unsur Zoroastrianisme dan Kristen yang pernah muncul sebelumnya.

     Selain Marquniyah, di Persia pernah muncul ajaran lain yang disebut Disoniyah. Seperti beberapa ajaran sebelumnya, kepercayaan baru ini juga menganut paham dualism. Bahkan Disoniyah memiliki persamaan dengan Marquniyah dalam pandangannya tentang adanya unsure ketiga selain cahaya dan kegelapan. Menurut ajaran ini, tugas unsure ketiga ini adalah memisahkan unsure cahaya dan kegelapan, tetapi tidak dijelaskan bagaimana proses terwujudnya unsure ketiga ini. Ibnu Dison, nama pencetus ajaran ini, menurut beberapa kalangan termasuk orang yang pertama kali melontarkan pemikiran tentang inkarnasi. Terbukti dalam salah satu ajarannya ia mengatakan bahwa cahaya Allah telah masuk dan menempati hatinya.


b.   Kondisi Politik dan Sosial

     Persia diterpa dekadensi moral sewaktu penduduknya masih menganut kepercayaan-kepercayaan kuno yang telah ada sebelum munculnya Zoroastrianisme. Dekadensi moral secara mencolok tampak di tengah-tengah masyarakat pedalaman yang senantiasa terlibat dalam pertikaian dan perang antargolongan. Bahkan kehidupan mereka saat itu tak pernah sepi dari aksi-aksi perampasan, perampokan, dan pembunuhan.

     Tak lama kemudian, muncul ajaran Majusi. Pada awal kedatangannya, ajaran ini berupaya keras memberantas dekadensi moral dan krisis social Persia. Namun sayang, belum sempat upaya itu terwujud, pada saat bersamaan muncul ajaran-ajaran lain, seperti Manichaeisme dan Mazdaisme.

     Di bawah naungan ajaran Majusi, Manichaeisme, Mazdaisme, dan kepercayaan-kepercayaan Iran kuno lainnya inilah masyarakat Iran semakin terpuruk dalam kehidupan yang penuh dengan fenomena degradasi moral, pertikaian, perpecahan, dan pertumpahan darah, baik dengan sesama mereka sendiri atau dengan bangsa-bangsa lain. Yang sering terjadi adalah kaum penyembah api menyerang para pengikut Al-Masih, merampas harta benda mereka, dan menahan sebagian mereka sebagai tawanan. Namun, bangsa Persia kadang kala juga mengalami kekalahan dan akhirnya berhasil ditaklukkan oleh Romawi.

     Perlu dicatat bahwa para pengikut Majusi dari bangsa Persia banyak yang tidak menyembah Tuhan yang sebenarnya. Selan itu, di dalam jiwa mereka pun tidak tertanam nilai-nilai moralitas yang luhur. Pada sisi lain, para Kaisar Romawi senantiasa menindas kelompok-kelompok agama atau kepercayaan yang akidahnya berseberangan dengan akidah mereka.

     Salah satu fenomena social yang mencerminkan parahnya degradasi moral masyarakat Persia saat itu adalah diperbolehkannya seorang lelaki mengawini mahramnya (keluarga) sendiri. Praktik seperti ini dibenarkan dan banyak dilakukan oleh para penganut Zoroastrianisme. Mereka berpendapat, “Seorang anak lelaki diperbolehkan memuaskan nafsu ibunya. Dan apabila suami meninggal, yang lebih berhak untuk mendapatkan istrinya adalah anaknya.

     Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kita melihat dari catatan sejarah bahwa salah satu raja mereka, yaitu Yazdigird II akhirnya menikahi putrinya sendiri dan kemudian membunuhnya. Tercatat pula, Bahram Gobin telah menikahi saudara perempuannya sendiri.

     Sementara itu, Mazdaisme mendapat banyak dukungan dari kalangan muda, orang-orang kaya, kaum bangsawan, dan masyarakat umum karena ajaran-ajarannya bisa menjadi alat untuk memuaskan hawa nafsu kelompok-kelompok ini. Bahkan, ajaran ini juga didukung dan dianut oleh penguasa setempat selama beberapa masa, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Faktor inilah yang mempermudah dan mempercepat perkembangan ajaran itu di tengah-tengah masyarakat Majusi di Persia. Akibatnya, Persia pun kian tenggelam dalam berbagai bentuk degradasi dan kerusakan moral yang diakibatkan oleh ajaran tersebut.

     Sementara itu, di kalangan orang kebanyakan pun terdapat tingkatan social yang berbeda-beda, dan masing-masing memiliki kedudukan tersendiri di tengah-tengah masyarakat.

     Dalam soal fanatisme, bangsa Persia memiliki fanatisme yang tinggi terhadap ke-Persia-an mereka. Menurut mereka, Persia adalah bangsa paling terhormat dari sekian banyak suku bangsa. Selain itu, Allah juga telah member mereka berbagai kelebihan, bakat, dan kemampuan khusus yang tidak dimiliki bangsa mana pun. Fanatisme inilah yang kemudian membuat mereka selalu memandang rendah bangsa lain. Tak jarang mereka melontarkan julukan-julukan khusus yang berbau celaan atau hinaan terhadap umat yang lain.

     Perlu digarisbawahi bahwa api tidak pernah menurunkan wahyu apapun kepada para penyembahnya. Api juga tidak pernah mengutus seorang rasul atau nabi untuk menyampaikan tuntunan dan petunjuk kepada manusia. Lebih dari itu, api tidak pernah bisa menuntun setiap gerak langkah hidup manusia dan juga tidak pernah bisa menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang yang melakukan dosa dan kejahatan.

     Akibatnya, masyarakat Majusi menempatkan agama tak lebih dari sekedar ritual yang selesai begitu saja ketika sudah dilaksanakan di tempat-tempat tertentu dan pada waktu-waktu tertentu. Adapun di luar ruang peribadatan, dalam kehidupan sehari-hari mereka, di tempat-tempat bekerja, di jalanan, dalam kehidupan politik, ekonomi, social, dan lain-lain, mereka merasa bisa berlaku bebas. Mereka dapat melangkah sesuai dengan kehendak hawa nafsu mereka, sama seperti yang dilakukan oleh orang-prang musyrik seanjang sejarah.

     Itulah kehidupan bangsa Persia di bawah ajaran Majusi. Mereka sama sekali tidak merasakan dan mendapatkan ajaran agama sebagai sumber tuntunan, petunjuk, dan pendidikan untuk melakukan kebaikan dan kebajikan dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, selain tidak bisa menjadi system tatanan hukum yang ikut mengatur kehidupan setiap individu, masyarakat, dan Negara mereka, agama Majusi tidak bisa berhasil menjadi benteng bagi manusia dari kesewenang-wenangan para penguasa. Semua hal inilah yang kemudian mereka dapatkan dari Islam.

     Adapun dalam kehidupan politik, selama berada di bawah baying-bayang ajaran Majusi ini, bangsa Persia nyaris tidak pernah mendapatkan pemerintahan yang berhasil memberantas berbagai kebobrokan social. Yang terjadi, para raja dan pejabatnya sendirilah yang justu memelopori kebobrokan tersebut. Pasalnya, sebelum umat manusia menyembah Tuhan yang sebenarnya, mereka telah menganggap diri mereka masing-masing sebagai tuhan. Mereka senantiasa berlomba-lomba untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Terbukti, enam orang raja di antara mereka menduduki tahta dalam tempo beberapa bulan saja. Ironisnya, perebutan kekuasaan ini hanya dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan duniawi para raja tersebut: menumpuk kekayaan pribadi dan bermegah-megahan dengan kenikmatan dunia.

     Dengan demikian, tidak mengherankan bila mitos Persia penuh dengan kisah-kisah tentang para penguasa dan raja-raja Persia yang kaya raya dan senantiasa bergelimang kemewahan dan gemerlap dunia. Tentu anda pernah mendengar cerita tentang Yazdigird, raja terakhir Persia. Syahdan, ketika mengungsi dari serangan pasukan Islam, ia membawa serta seribu juru masak, seribu penyanyi, seribu petugas kebersihan, seribu penjaga pakaian, dan masih banyak lagi miliknya. Namun demikian, ia masih merasa dirinya sebagai pengungsi yang malang dan menyedihkan. Disebutkan bahwa di bawah pemerintahannya, bangsa Persia sangat sengsara dan menderita karena tingginya pajak dan upeti yang dipungut oleh kerajaan.





▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

0 komentar:

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf