Sabtu, 15 Februari 2014

Abu Al-Ash bin Robi (Pemuda yang Memegang Janjinya).


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Pada tanggal 7 Ramadhan tahun 2 H, meletuslah peperangan pertama kaum Muslimin di bukit Badar. Pertarungan berlangsung sengit hingga akhirnya umat Muslim yang berjumlah hanya sepertiga dari jumlah kaum Quraisy berhasil memenangkan pertempuran. Umat Muslim mendapatkan banyak harta rampasan perang serta tawanan yang dibawa ke Madinah. Para tawanan yang ingin bebas, diminta untuk menebus diri mereka.

     Salah satu di antara tawanan ternyata ada yang ditebus dengan kalung milik Khadijah, istri pertama Rasulullah. Tawanan itu tak lain adalah menantu Rasulullah yang ditebus oleh istrinya, Zainab binti Rasulullah. Dialah Abu Al-Ash bin Robi.

     Dalam kehidupan masyarakat Quraisy, berdagang merupakan mata pencaharian utama bagi kelangsungan hidup mereka. Para pedagang Mekkah biasanya menitipkan barang dagangan mereka kepada ketua kelompok kafilah dagang mereka. Kafilah dagang biasanya dipilih dari kalangan terhormat dan dipercaya mempunyai keahlian dagang sehingga dapat memperoleh banyak keuntungan.

     Ialah Abu Al-Ash bin Robi, salah satu saudagar sukses yang berasal dari suku terpandang yakni suku Abdu Syams. Di usianya yang masih muda, ia telah dikenal sebagai seorang pedagang yang banyak meraup keuntungan karena keahlian dan kejujurannya dalam berdagang.

     Kesuksesannya juga didukung oleh kekerabatannya dengan seorang saudagar terkenal, yakni Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah. Hubungannya sebagai keponakan Khadijah inilah yang kemudian membawanya dekat dengan keluarga Rasulullah.

     Bekal kecerdasan dan kejujuran yang dimiliki Abu Al-Ash bin Robi membuat Khadijah berniat untuk menikahkannya dengan putrinya, yakni Zainab bin Muhammad. Sejarah tidak mencatat kapan Abu Al-Ash bin Robi datang melamar Zainab binti Muhammad.

     Rasulullah yang saat itu belum memperoleh predikat kenabian, merestui pernikahan putrinya dengan pemuda jujur dan terpandang. Dia adalah orang jujur dan orang yang sangat amanah. Dan teruji amanah ini sehingga ia adalah orang yang layak untuk dinikahkan dengan putri Rasulullah. Semua peristiwa ini terjadi sebelum Muhammad menjadi Nabi.

     Setelah kejadian itu, kehidupan rumah tangga mereka berjalan dengan sangat harmonis. Mereka tercatat sebagai pasangan suami istri yang saling mencintai, hingga tibalah saat tugas menyampaikan risalah Islam datang kepada Muhammad. Saat itu Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan Islam kepada keluarga dan kerabat terdekat.

     Saat itu, beberapa keluarga terdekat dan putri-putri Rasulullah segera menerima Islam sebagai keyakinan barunya. Namun ajakan Islam ternyata tidak disambut oleh menantu-menantu Rasulullah. Mereka tidak ingin berpaling dari ajaran nenek moyang mereka. Hal ini membuat Rasulullah sedih atas perbedaan akidah yang berada di dalam rumah tangga putri-putri Rasulullah. Namun, Rasulullah tak mampu menarik kembali putri-putrinya, sebab pada saat itu syariat yang melarang pernikahan perbedaan agama belum turun kepadanya.

     Rasulullah dengan berat hati harus merelakan putrinya, Zainab untuk hidup bersama suami sahnya, Abu Al-Ash bin Robi meski mereka berbeda keyakinan. Sementara itu, di saat ancaman kaum Quraisy sudah tak terbendung lagi, Rasulullah memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Di sinilah Abu Al-Ash bin Robi tetap mempertahankan Zainab, istri yang sangat dicintainya agar tetap berada di sisinya, di kota Mekkah.

     Hijrahnya Rasulullah dan umat Muslim ke Madihan, ternyata tidak mengindikasikan bahwa perselisihan antara umat muslim dan kaum kafir Quraisy berakhir. Perseteruan kian memanas hingga akhirnya kaum Quraisy sepakat untuk mengirimkan seribu pasukannya ke medan Badar di tahun ke-2 Hijriyah. Di antara pasukan-pasukan yang ditugaskan tersebut, Abu Al-Ash termasuk di dalamnya. 

     Namun, bukan keinginan hati Abu Al-Ash untuk berperang melawan Muslimin, terlebih melawan Rasulullah yang tak lain adalah mertuanya sendiri. Semua itu dilakukan olehnya karena ia berada dalam lingkungan masyarakat Quraisy dan berada di bawah tekanan masyarakat Quraisy. Dengan berat hati Abu Al-Ash berperang dan menghunuskan pedangnya di Perang Badar.

     Sementara itu, kaum Quraisy merasa yakin bahwa mereka akan memenangkan pertempuran dan berhasil menghabisi umat Muslim yang berjumlah hanya sepertiga dari jumlah pasukan mereka. Namun, di luar dugaan, kaum Muslimin berhasil memenangkan peperangan. Tak sedikit ghanimah atau harta rampasan perang yang didapatkan kaum Muslimin. Dan tak sedikit pula pasukan Quraisy yang menjadi tawanan, termasuk Abu Al-Ash bin Robi.

     Rasulullah pun memusyawarahkan penanganan para tawanan itu dengan para sahabatnya. Beliau meminta kepada mereka untuk menyampaikan saran dan pendapat tentang apa yang harus dilakukan terhadap para tawanan mereka.
     Abu Bakar menyarankan agar Rasulullah meminta uang tebusan untuk pembebasan tiap-tiap tawanan. Menurut Abu Bakar, hal itu akan menaikkan citra kekuatan kaum Muslimin di mata orang-orang kafir. Maka, Abu Bakar pun berkata, “Dengan begitu, siapa tahu mereka nanti tertarik untuk masuk Islam.

     Namun, Umar bin Al-Khattab memberikan saran yang cukup mencengangkan bagi kita. Ia menyarankan kepada Rasulullah untuk membunuh para tawanan itu karena menurutnya orang-orang tersebut adalah para pemimpin orang kafir.

     Rasulullah pun cenderung untuk menerima pendapat Abu Bakar. Namun, ternyata belakangan Allah menurunkah sebuah ayat yang memihak kepada pendapat Umar. Allah berfirman:

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
QS:Al-Anfaal | Ayat: 67

لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.
QS:Al-Anfaal | Ayat: 68

فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS:Al-Anfaal | Ayat: 69

     Sebenarnya, pada masa awal kedatangan Islam, mengambil tebusan dari tawanan masih dihalalkan. Sesudah masa itu, keputusan diserahkan kepada pemimpin untuk menentukan apakah seorang tawanan harus dibunuh, membayar uang tebusan, atau dibebaskan. Hal itu berlaku kepada semua tawanan selain perempuan dan anak-anak. Dengan kata lain, kaum Muslimin tidak diperbolehkan membunuh tawanan selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin.

     Allah berfirman:

فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّىٰ إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّىٰ تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ۚ ذَٰلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ ۗ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.
QS:Muhammad | Ayat: 4

     Maka, Rasulullah pun mengumumkan agar tawanan harus membayar tebusan untuk membebaskan diri mereka. Zainab yang mendengar tebusan tersebut segera mengirimkan kalung yang merupakan hadiah pernikahan dari Khadijah untuk menebus sang suami.

     Apa yang dilakukan oleh Zainab sungguh menyentuh hati Rasulullah. Kalung perhiasan yang digunakan Zainab untuk membebaskan Abu Al-Ash telah membuka kenangan saat-saat indah Rasulullah dengan sang istri tercinta, Khadijah binti khuwailid. Rasulullah pun meminta persetujuan kepada para sahabat untuk membebaskan Abu Al-Ash tanpa tebusan.

     Maka bebaslah Abu Al-Ash dari tawanan Perang Badar, tetapi dengan syarat Abu Al-Ash harus mengembalikan Zainab kepada Rasulullah. Dan persyaratan itu pun disanggupi oleh Abu Al-Ash.

     Abu Al-Ash pun memenuhi janjinya. Ia memulangkan sang istri kepada Rasulullah dengan mengutus saudaranya untuk mengantarkan Zainab ke Madinah. Meski hatinya enggan untuk berpisah dengannya, Abu Al-Ash tetap menunjukkan komitmennya kepada Rasulullah.

     Hari-hari berikutnya, ia menjalani hidupnya tanpa Zainab di sisinya. Begitu besar cintanya terhadap Zainab dan begitu hormatnya ia kepada sang mertua meskipun ia enggan mengakui kerasulannya.

     Sejarah tidak menemukan catatan apakah Abu Al-Ash ikut terlibat di peperangan selanjutnya melawan Muslimin setelah Perang badar.

     Di tahun 6 H, Abu Al-Ash dipercaya memimpin kafilah dagang menuju ke Syam. Di dalam hatinya saat akan berangkat menuju ke Syam, ia sangat berharap agar bisa kembali bertemu dengan istrinya. Baginya tak ada wanita lain yang mampu menggantikan Zainab di sisinya.

     Maka berangkatlah ia untuk memimpin kafilah dagang yang membawa 100 unta. Perdagangannya sukses di Syam. Dan saat akan kembali ke Mekkah, kafilah dagangnya bertemu dengan sekelompok kaum Musllimin yang kemudian mencegat dan menawan mereka.

     Maka dibawalah kafilah dagang Quraisy ke Mainah. Beruntunglah Abu Al-Ash, karena ia berhasil lolos dari sergapan. Diam-diam ia menyelundup ke Madinah dan meminta perlindungan istrinya. Setelah shalat Shubuh, Zainab mengumumkan bahwa ia melindungi Abu Al-Ash.

     Namun, Rasulullah mengingatkan saat itu syariat yang mangharamkan pernikahan berbeda keyakinan telah turun, sehingga secara otomatis Zainab bercerai dengan Abu Al-Ash bin Robi.

     Atas jaminan keamanan Zainab, Abu Al-Ash menemui kaum Muslimin dan meminta agar kafilah dagangnya dikembalikan. Hal itu dilakukannya karena ia merasa bertanggung jawab atas barang dagangan yang diamanahkan dari kaum Quraisy kepadanya.

     Rasulullah pun kembali melibatkan para sahabat untuk menentukan keputusan yang akan diambil. Sebab, ghanimah atau harta rampasan perang menjadi harta yang halal untuk dimiliki. Namun, kebesaran hati Rasulullah dan para sahabat, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk mengembalikan kafilah dagang yang dipimpinan oleh Abu Al-Ash bin Robi.

     Berkat perlindungan Zainab yang tak lagi menjadi istrinya, ia pun kembali pulang dengan aman tanpa kekurangan sesuatupun. Sesampainya di Mekkah, Abu Al-Ash segera memenuhi amanah dengan memberikan hak-hak kaum Quraisy yang dititipkan kepadanya.

     Setelah ia memastikan semua hak telah terpenuhi, ia pun mengumumkan keislamannya dan kembali menuju ke Madinah untuk bertemu dengan Rasulullah. Dengan begitu, ia pun kembali menjadi suami yang sah bagi Zainab binti Muhammad. Tak tergambarkan kegembiraannya dapat kembali hidup bersama Zainab.

     Namun, kebersamaan tersebut tak berlangsung lama karena dua tahun kemudian mereka harus kembali dipisahkan dengan maut. Zainab binti Muhammad wafat pada tahun 8 H. Tahun ini menjadi tahun kesedihan yang mendalam bagi Abu Al-Ash bin Robi.

     Tak tercatat bagaimana kisah hidup Abu Al-Ash bin Robi setelah wafatnya Zainab, namun tak lama setelah itu, Abu Al-Ash pun wafat di tahu 12 H. kisah cinta sejati Abu Al-Ash bin Robi dengan Zainab binti Muhammad kembali berlanjut dalam kehidupan abadi di akhirat kelak.

     Selamat kepada Abu Al-Ash bin Robi. Semoga Allah meridhaimu, wahai Abu Al-Ash.





▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Ayyasy bin Abu Rabi'ah (Tidak Ada Rintangan yang Berarti Bagiku untuk Islam).


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


     Namanya adalah Ayyasy bin Abu Rabai'ah bin Mughirah. Ayyasy bin Abu Rabi’ah masih kerabat Nabi SAW. Ketika akan hijrah ke Madinah, ia berencana berangkat bertiga dengan Umar bin Khaththab dan Hisyam bin Ash, dan bertemu di lembah Tanadhub, 6 mil dari Makkah. Tetapi Hisyam dihalangi dan disiksa oleh kaum kafir Quraisy, sehingga mereka hanya berangkat berdua. 

     Setelah beberapa saat tiba di Quba, Abu Jahal bin Hisyam dan Al-Harits bin Hisyam, yang masih saudara sepupunya datang membawa kabar beita bahwa ibunya bersumpah tidak akan menyisir rambutnya dan menghindari matahari hingga ibunya bertemu dengan anaknya, Ayyasy bin Abu Rabi’ah.

     Namun, tentu saja sebagai sahabat yang baik, Umar bin Al-Khattab mengingatkannya, “Wahai Ayyasy, sepertinya engkau percaya dengan mereka. Demi Allah, mereka hanya ingin engkau kembali agar mereka bisa memalingkanmu dari agamamu. Jika ia temukan kutu di rambutnya, ia pasti akan menyisir rambutnya. Dan jika Mekkah terlalu panas, ia pasti akan berteduh.

     Ayyasy bin Abu Rabi’ah pun mengomentari pembelaan Umar, “Menurutku mereka tidak berbohong karena ibuku mencintaiku lebih dari orang lain. Itulah sebabnya aku akan kembali agar sumpah ibuku tercapai, sekaligus aku akan mengambil hartaku yang kutinggalkan di Mekkah.

     Umar bin Al-Khattab yang melihat Ayyasy bin Abu Rabi’ah percaya dengan tipu muslihat mereka, berkata kepadanya sekaligus ini merupakan peringatan terakhir, “Aku akan memberimu setengah dari hartaku, tetapi janganlah engkau ikut bersamanya.

     Ayyasy bin Abu Rabi’ah yang merasa kebingungan akhirnya memilih untuk kembali agar bisa melihat ibunya dan berniat ingin membawa harta bendanya dari Mekkah. Ia sangat mencintai ibunya sebagaimana ibunya mencintai anaknya. Ia pun berkata kepada Umar bin Al-Khattab, “Aku akan kembali bersama mereka dan aku percayakan urusanku kepada Allah.

     Umar bin Al-Khattab pun menyerah dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi atas pendirian Ayyasy bin Abu Rabi’ah. ia pun memberikan saran, “Jika engkau memutuskan untuk pergi, bawalah unta betina milikku karena larinya cepat. Dan engkau harus tetap berada di belakang mereka. Jika engkau mencurigai apa pun, engkau bisa kabur bersamanya.

     Akhirnya Ayyasy bin Abu Rabi’ah pun mengucapkan kata perpisahan kepada Umar bin Al-Khattab dan kembali ke Mekkah bersama Abu Jahal dan Al-Harits bin Hisyam.

     Mereka bertiga kembali ke Mekkah. Dan seperti yang dikhawatirkan oleh Umar bin Al-Khattab, Abu Jahal dan Al-Harits bin Hisyam memperdaya Ayyasy, tidak lama setelah mereka meninggalkan batas kota Madinah. Abu Jahal berkata, “Wahai keponakanku, demi Allah, untaku ini sudah sangat kepayahan. Maukah engkau memboncengkan aku di punggung untamu?

   “Boleh!!” Kata Ayyasy, tanpa prasangka apapun.

   Kemudian ia menderumkan untanya, dan Abu Jahal naik di belakang Ayyasy. Tetapi seketika itu ia mendekap tubuh Ayyasy dengan erat, dan Hisyam mengeluarkan tali yang telah dipersiapkannya, dan mengikat Ayyasy dengan erat.

     Mengenai ini, Ibnu Ishaq berkata, "Kemudian Umar bin Khaththab dan Ayyasy bin Abu Rabi'ah Al-Makhzumi keluar dari Makkah dan tiba di Madinah."

     Nafi', mantan budak Abdullah bin Umar berkata kepadaku dari Abdullah bin Umar dari ayahnya, Umar bin Khaththab yang berkata, "
Ketika kami ingin hijrah ke Madinah, aku, Ayyasy bin Abu Rabi'ah dan Hisyam bin Al-Ash bin Wail As-Sahmi sepakat bertemu di Tanadhub, anak sungai di atas Sarif. Kami berkata, 'Jika salah seorang dari kita besok pagi tidak berada di tempat tersebut, berarti ia tertahan dan hendaklah dua orang lainnya berangkat ke Madinah.' Keesokan harinya, aku dan Ayyasy bin Abu Rabi'ah berada di Tanadhub. Namun, Hisyam bin Al-Ash tidak bisa datang ke tempat tersebut, karena ia disiksa. 

     Ketika kami tiba di Madinah, kami berhenti di Bani Amr bin Auf di Quba'. Abu Jahal bin Hisyam dan Al-Harits bin Hisyam berangkat ke Madinah untuk menemui Ayyasy bin Abu Rabi'ah. Ayyasy bin Abu Rabi'ah adalah paman keduanya dan saudara seibu keduanya.


     Abu Jahal bin Hisyam dan Al-Harits bin Hisyam tiba di Madinah pada saat Rasulullah masih di Mekkah. Keduanya berbicara dengan Ayyasy bin Abu Rabi'ah. Keduanya berkata kepada Ayyasy bin Abu Rabi'ah, 'Sesungguhnya ibumu bernazar, bahwa sisir tidak menyentuh rambutnya hingga ia melihatmu dan ia tidak akan berteduh dari matahari hingga melihatmu.'

     Mendengar perkataan mereka, Ayyasy bin Abu Rabi'ah terketuk hatinya. Aku (Umar bin Khaththab) berkata kepada Ayyasy, 'Wahai Ayyasy, demi Allah, sesungguhnya orang-orang Quraisy hanya ingin mengeluarkanmu dari agamamu, maka berhati-hatilah terhadap mereka. Demi Allah, jika ibumu terganggu oleh kutu, ia pasti menyisir rambutnya dan jika panas matahari Makkah membara, ia pasti berteduh.'

     Ayyasy bin Abu Rabi'ah berkata, 'Aku akan membersihkan sumpah ibuku. Di sana, aku mempunyai uang dan aku akan mengambilnya.'

     Aku pun berkata kepada Ayyasy bin Abu Rabi'ah, 'Demi Allah, engkau sudah tahu bahwa aku orang Quraisy yang paling kaya. Engkau aku beri separuh hartaku dan sebagai gantinya engkau tidak usah pergi bersama Abu Jahal bin Hisyam dan Al-Harits bin Hisyam.'

     Ayyasy bin Abu Rabi'ah tidak menuruti saranku dan ia lebih tertarik pulang bersama Abu Jahal bin Hisyam dan Al-Harits bin Hisyam. Ketika ia memutuskan pulang ke Makkah, aku katakan kepada Ayyasy, 'Jika engkau akan melaksanakan apa yang engkau inginkan, ambillah untaku ini, karena ia unta yang handal dan penurut dan tetaplah berada di atas punggungnya. Jika engkau melihat sesuatu yang mencurigakan pada kaum tersebut, selamatkan dirimu dengan unta ini.' Kemudian Ayyasy bin Abu Rabi'ah pulang ke Makkah bersama Abu Jahal bin Hisyam dan Al-Harits bin Hisyam.
     Ketika mereka bertiga tiba di salah satu jalan, Abu Jahal bin Hisyam berkata kepada Ayyasy bin Abu Rabi'ah, 'Demi Allah, wahai saudaraku, sungguh saya keliru dalam memilih untaku ini. Ia tidak bisa membawaku, mengejar untamu.' Ayyasy bin Abu Rabi'ah berkat, 'Ya betul.' Kemudian Ayyasy bin Abu Rabi'ah menghentikan untanya. Begitu juga Abu Jahal bin Hisyam dan Al-Harits bin Hisyam dan Al-Harits bin Hisyam menangkap Ayyasy bin Abu Rabi'ah, kemudian keduanya mengikatnya, membawanya masuk Makkah dan menyiksanya."

     Ibnu Ishaq berkata bahwa sebagian keluarga Ayyasy bin Abu Rabi'ah berkata kepadaku, ketika Abu Jahal bin Hisyam dan Al-Harits bin Hisyam membawa Ayyasy bin Abu Rabi'ah masuk Makkah, keduanya membawa Ayyasy masuk Makkah dalam keadaan terikat di malam hari. Keduanya berkata, "
Hai orang-orang Makkah, kerjakan seperti inilah terhadap orang-orang yang meninggalkan ajaran nenek moyang di antara kalian, seperti yang kami perbuat terhadapnya."

     Ibnu Ishaq berkata bahwa Nafi' berkata kepadaku dari Abdullah bin Umar dari Umar bin Khattab dalam haditsnya. Umar bin Khaththab berkata, "
Kami pernah katakan. 'Allah tidak menerima keadilan dan taubatnya orang yang berubah haluan karena siksaan, yaitu kaum yang mengenal Allah, kemudian ia kembali kepada kekafiran karena cobaan yang menderanya. Para sahabat mengucapkan ungkapan tersebut untuk diri mereka. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tiba di Madinah, Allah Ta'ala menurunkan ayat tentang mereka, tentang ucapan kami dan ucapan mereka terhadap diri mereka sendiri,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS:Az-Zumar | Ayat: 53

وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).
QS:Az-Zumar | Ayat: 54

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya,
QS:Az-Zumar | Ayat: 55

     Ayat tersebut turun karena Ayyasy bin Abu Rabi’ah menuruti kemauan mereka untuk kembali murtad. Hal yang sama juga terjadi pada Hisyam bin Ash yang terpaksa murtad karena beratnya siksaan yang ditimpakan kepada mereka. Dan saat itu ada anggapan, orang yang murtad tidak akan diterima lagi taubatnya dan tidak berarti lagi keislamannya. Karena itu keduanya selalu dirundung kesedihan walaupun dalam keadaan bebas bergerak di Makkah.

     Tetapi turunlah ayat di atas yang berisi larangan berputus asa dari Rahmat Allah, bahwa Allah mengampuni semua dosa-dosa.

     Umar mengirim seorang utusan dengan membawa surat kepada dua sahabatnya itu, yang memberitahukan turunnya wahyu Allah tersebut. Kemudian keduanya mengikuti utusan Umar tersebut ke Madinah dengan sembunyi-sembunyi, dan kembali ke pangkuan Islam.

     Umar bin Khaththab berkata, "Surat di atas aku tulis dengan kedua tanganku dalam lembaran, kemudian aku kirimkan kepada Hisyam bin Al-Ash. Hisyam bin Al-Ash berkata, 'Ketika surat tersebut sampai ke tanganku, aku membacanya di Dzi Thawa. Aku segera naik ke Dzi Thawa membawa surat tersebut. Aku baca surat tersebut, namun aku tidak bisa memahaminya, hingga aku berkata, 'Ya Allah, berilah aku pemahaman!' Kemudian Allah Ta'ala memasukkan pemahaman ke dalam hatiku, bahwa ayat tersebut diturunkan tentang kami, apa yang kami katakan untuk diri kami dan apa yang diucapkan tentang kami. Aku segera pergi kepada untaku, duduk di atasnya, kemudian pergi menyusul Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam'."

     Sebagian riwayat menyebutkan, mereka berdua tidak sampai murtad, karena itu mereka diikat dan dipenjarakan di suatu tempat.

     Rasulullah pun bersabda kepada para sahabat, "Siapakah yang bisa membebaskan Ayyasy bin Abu Rabi'ah dan Hisyam bin Al-Ash untukku?"

     Al-Walid bin Al-Walid bin Al-Mughirah berkata, "Aku, wahai Rasulullah." Kemudian Al-Walid bin Al-Walid bin Al-Mughirah berangkat ke Makkah dan tiba di sana dengan diam-diam. Ia bertemu seorang wanita yang membawa makanan. Ia berkata kepada wanita tersebut, "Engkau akan pergi ke mana, wahai hamba Allah?"

     Wanita tersebut berkata, "Aku akan pergi kepada dua orang yang sedang ditahan--sambil menyebut nama kedua orang yang ditahan tersebut."

     Al-Walid bin Al-Walid bin Al-Mughirah membuntuti wanita tersebut hingga ia mengetahui tempat dua orang yang ditahan tersebut. Kedua orang tersebut ditahan di rumah yang tidak ada atapnya. Pada sore harinya, Al-Walid bin Al-Walid bin Al-Mughirah memanjat rumah kedua orang yang ditahan tersebut. Ia mengambil kerikil putih dan meletakkannya di bawah tali pengikat keduanya, kemudian ia tebas tali pengikat keduanya dengan pedangnya dan ia berhasil memutusnya. Oleh karena itu, pedangnya dinamakan Dzu Al-Marwah (yang mempunyai kerikil putih).

     Setelah itu , Al-Walid bin Al-Walid bin Al-Mughirah menaikkan Ayyasy bin Abu Rabi'ah dan Hisyam bin Al-Ash ke atas untanya. Ia tuntun unta yang membawa keduanya hingga ia terjatuh dan jari-jarinya berdarah. Ia berkata, “Engkau tidak lain adalah jari-jari yang berdarah. Dan engkau berdarah itu di jalan Allah.

     Akhirnya Al-Walid bin Al-Walid bin Al-Mughirah berhasil membawa keduanya tiba di Madinah di tempat Rasulullah. Dan mereka pun mendalami agama mereka dengan penuh kekhusyukan.

     Di masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab, Ayyasy bin Rabi’ah berangkat untuk berjihad di jalan Allah. Ia bersama Al-Harits bin Hisyam yang dahulu pernah menyekap dan memenjarakannya bersama Abu Jahal, tak ketinggalan untuk mengikuti momen yang ditunggu-tunggunya. Seperti orang Qurasiy lainnya, Al-harits bin Hisyam dan Ikrimah bin Abu Jahal ingin menebus dosa-dosa mereka di masa lampau.

     Akhirnya, setelah peperangan yang dahsyat itu selesai dan kemenangan berada di pihak kaum Muslimin, mereka bertiga, Ayyasy bin Abu Rabi’ah, Al-Harits bin Hisya, dan Ikrimah terluka parah. Mereka sangat rindu kepada Rasulullah dan ingin bertemu dengan beliau.

    Seseorang membawakan air kepada Al-Harits bin Hisyam. Ketika air didekatkan ke mulutnya, ia melihat Ikrimah dalam keadaan seperti yang ia alami. "Berikan dulu kepada Ikrimah," kata Al-Harits. Ketika air didekatkan ke mulut Ikrimah, ia melihat Ayyasy bin Rabi’ah menengok kepadanya. "Berikan dulu kepada Ayyasy!" ujarnya. Ketika air minum didekatkan ke mulut Ayyasy, dia telah meninggal. Orang yang memberikan air minum segera kembali ke hadapan Harits dan Ikrimah, namun keduanya pun telah meninggal pula.

     Begitulah keadaan mereka, sehingga air tersebut tidak seorangpun di antara mereka yang dapat meminumnya, hingga akhirnya mereka semua mati syahid. Itulah yang terjadi. Mereka rela menderita kehausan sewaktu ruh-ruh mereka melayang. Inilah contoh teladan yang paling indah tentang pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain. Semoga Allah melimpahkan kurnia dan rahmat-Nya kepada mereka bertiga. 





▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Minggu, 09 Februari 2014

Ikrimah bin Abu Jahal (Pahlawan Pertempuran Yarmuk).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

     Mendengar nama Abu Al-Hakam (Abu Jahal), membuat hati kaum Muslimin menjadi sangat geram karena sosoknya yang sangat memusuhi Islam. Dia merupakan lelaki yang terhormat di kaumnya. Dia memiliki harta yang amat banyak, sehingga memiliki kedudukan yang tinggi di mata kaum Quraisy.

     Namun, dia telah mengubur dalam-dalam dirinya ke dalam lumpur kemusyrikan, padahal jika ia mau menerima hidayah dan cahay islam, niscaya ia akan menjadi orang yang berpengaruh dalam Islam. Sesuai dengan doa Rasulullah, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Amr bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Al-Khattab.

     Namun, apa daya Allah lebih mengetahui perkara yang ghaib. Dia-lah yang menentukan takdir seseorang sehingga Dia menjadikan Umar bin Al-Khattab, yang merupakan keponakan Abu Jahal untuk memeluk Islam.

     Abu Jahal merupakan Fir’aun bagi umat ini. Ia hidup sezaman dengan Rasulullah dan mendedikasikan dirinya untuk memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Ia berusaha keras untuk menghentikan dakwah Rasulullah bahkan untuk membunuhnya. Namun, Rasulullah memang bukan manusia yang pantas untuk dibunuh. Ia melihat sejumlah tanda kekuasaan-Nya dan mukjizat Rasulullah, namun hatinya yang sudah terlanjur keras bagaikan semen yang sulit untuk dilunakkan kembali.

     Saat menjelang Perang Badar, Abu Jahal selalu mendesak kaumnya agar tetap melaksanakan perang walaupun kafilah dagang Abu Sufyan selamat. Ia telah tertipu oleh bujuk rayu setan. Ia yakin bahwa kaum Quraisy akan menang dalam perang yang menentukan nasib kaum Muslimin.

     Namun, dia sendirilah yang merasakan pahitnya kekalahan, bahkan lebih dari itu. Ia merasakan kematiannya yang sunguh tragis.

     Mengenai ini, Al-Bukhari dan Muslim menuturkan bahwa Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, “Sesungguhnya aku berada di tengah-tengah pasukan saat Perang Badar. Ketika menengok ke kiri dan ke kanan, aku melihat dua orang bocah belia. Aku nyaris tak percaya dengan keberadaan keduanya. Seorang dari mereka berbisik kepadaku tanpa diketahui temannya, ‘Paman, tunjukkan kepadaku orang yang bernama Abu Jahal!

     Aku menjawab, ‘Wahai keponakanku, apa yang akan kauperbuat dengannya?

     Ia menjawab, ‘Aku mendengar kabar bahwa ia telah mencaci Rasulullah. Maka, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bila aku bertemu dengannya, niscaya aku tidak akan berpisah dengannya sebelum terbukti siapa yang lebih dulu mati di antara kami!

     Aku terkejut mendengar perkataannya.

     Abdurrahman bin Auf melanjutkan, “Kemudian, bocah satunya bertanya dan mengatakan hal yang sama kepadaku. Namun, belum sempat aku menjawab keduanya. Tiba-tiba kulihat kelebat Abu Jahal di tengah-tengah pasukan yang sedang berperang. Maka aku berkata, ‘Apakah kalian berdua tidak melihatnya? Itulah orang yang kalian tanyakan kepadaku.’ Seraya menunjuk ke arah Abu jahal.

     Keduanya bergegas menghampiri Abu Jahal dengan menghunus pedang masing-masing. Setelah dekat, mereka langsung menyerang Abu Jahal hingga tewas, lalu pergi menghadap Rasulullah untuk melaporkan hal itu. Maka beliau bertanya, ‘Siapa di antara kalian yang membunuhnya?

     ‘Aku yang membunuhnya.’ Jawab keduanya bersamaan.

     Rasulullah bertanya kembali, ‘Sudahkah kalian menghapus (darah) yang ada di pedang kalian?

     Keduanya serentak menjawab, ‘Belum.

     Rasulullah memeriksa kedua pedang mereka, kemudian bersabda, ‘Kalian berdua telah membunuhnya secara bersamaan’.

     Sejak kejadian itu, muncullah Ikrimah  bin Abu Jahal yang mulai menaruh dendam terhadap kaum Muslimin. Dulu, sebelum ayahnya terbunuh, ia memusuhi Islam karena ingin membahagiakan ayahnya. Namun, sejak saat itu pendiriannya berubah drastis saat ayahnya terbunuh dalam Perang Badar.

     Saat Rasulullah memulai dakwahnya, Ikrimah berusia 30 tahun dan ia merupakan seorang bangsawan yang dihormati karena berasal dari keturunan yang dihormati pula oleh rakyatnya.

     Ia dikenal sebagai orang yang gagah dan seorang penunggang kuda yang mahir. Ini merupakan kebanggaan sendiri bagi pemuda Jazirah Arab pada saat itu.

     Semenjak Perang Badar, ia benar-benar ingin membunuh Rasulullah karena rasa dendamnya yang sudah membara di dalam hatinya yang keras.

     Rasa dendam itu ia lampiaskan di Perang Uhud. Ia tampil sebagai pasukan berkuda kaum Quraisy yang ada dalam pasukan inti bersama Khalid bin Al-Walid. Tujuan mereka adalah bukan untuk memenangkan pertempuran, melainkan untuk membunuh Rasulullah dan Hamzah.

     Mereka—termasuk Ikrimah—sangat bersemangat sekali untuk memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Ikrimah melihat bayangan peristiwa kematian ayahnya di depan matanya hingga membuat pasukan kaum Muslimin mengalami kekalahan yang disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan pemanah.

     Dalam Perang Khandaq, Ikrimah adalah salah satu dari ribuan pasukan kaum musyrikin yang mengepung Madinah. Mereka sangat terkejut sekali melihat pertahanan kaum Muslimin—sebuah parit—yang belum pernah ada di wilayah jazirah Arab. Benar saja, strategi itu atas usul dari seorang berkebangsaan Persia, Salman Al-Farisi.

     Setelah pasukan Quraisy terkejut, tiba-tiba salah seorang pendekar Quraisy, Amru bin Abdul Wudd keluar dari tengan-tengah barisan Quraisy, seraya berseru kepada kaum Muslimin, “Siapakah yang sangguo melawanku?!” Maka, Ali pun berkata kepada Rasulullah, “Saya akan menghadapinya, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Duduklah engkau, ia adalah Amru.” Kemudian Amru berteriak sekali lagi, “Tidak adakah seorang lelaki yang sanggup menghadapiku? Bukankah kalian megatakan bahwa jika salah seorang di antara kalian terbunuh, maka orang itu akan memasuki surga? Maka, kenapa tidak ada seorang lelaki di antara kalian yang tampil?” Ali berkata, “Saya, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Duduklah.” Kemudian Amru mengulangi kembali tantangannya dengan melantunkan bait syair yang bernuansa kesombongan. Maka Ali berkata, “Meskipun Amru sekalipun!” Akhirnya Rasulullah pun mengizinkannya.

     Ali bin Abu Thalib berhasil memenangkan duel dengannya . ia memenggal kepala Amru bin Wudd dan melemparkannya pada pasukan kafir Quraisy. Melihat kejadian ini, Ikrimah lari terbirit-birit bagaikan tikus ketakutan.

     Singkat cerita, kaum kafir Quraisy maninggalkan Madinah karena Allah telah mengirimkan badai yang telah memporak-porandakan kemah mereka.

     Pada akhir tahun 6 H, Rasulullah bersama para shahabatnya mengadakan perjalanan ke Mekkah dengan tujuan berziarah ke Baitullah dan melakukan umrah, bukan hendak berperang, dan mereka juga tidak mengadakan persiapan untuk peperangan. Keberangkatan mereka ini diketahui oleh kaum Quraisy, sehingga mereka keluar untuk menghalangi jalan kaum Muslimin dan membatalkan niat mereka. Suasana pun menjadi tegang dan hati kaum Muslimin berdebar-debar. Rasulullah bersabda kepada para shahabatnya, “Jika pada waktu ini Quraisy mengajak kita untuk mengambil langkah ke arah pertalian silaturahmi, aku pasti mengabulkan.

     Kaum Quraisy pun mengirim utusan demi utusan kepada Rasulullah. Beliau selalu memberitahukan kepada mereka bahwa beliau datang tidak untuk berperang, tetapi hanyalah untuk mengunjungi Baitul Haram dan menjunjung tinggi kesuciannya. Setiap utusan Quraisy kembali tanpa hasil, mereka mengirim lagi utusan yang lebih bijak dan lebih disegani, hingga sampai pada giliran Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi.

     Ia merupakan tokoh Quraisy yang paling kuat dan brilian. Menurut anggapan Quraisy, ia akan mampu meyakinkan Rasulullah untuk kembali pulang ke Madinah. Tetapi, tidak lama setelah itu, Urwah kembali lagi dan berkata kepada mereka, “Wahai kaum Quraisy, aku ini pernah berkunjung kepada Kaisar, Kisra, dan Najasyi di istana mereka masing-masing. Namun, demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang raja yang dihormati oleh rakyatnya seperti halnya Muhammad dihormati oleh para shahabatnya. Aku melihat di sekelilingnya suatu kaum yang sekali-kali tidak akan rela membiarkannya mendapat cedera selamanya. Karena itu, pertimbangkanlah apa yang hendak kalian lakukan.

     Saat itulah orang-orang Quraisy yakin bahwa usaha mereka tidak akan berhasil. Mereka akhirnya memutuskan untuk menempuh jalan perundingan dan perdamaian. Untuk melaksanakan tugas ini, mereka memilih pemimpin mereka yang tepat, yang tiada lain adalah Suhail bin Amr. Kaum Muslimin melihat Suhail saat ia datang dan mereka langsung mengenal siapa dia. Kedatangannya itu membuat kaum Muslimin memahami bahwa orang-orang Quraisy akhirnya berusaha untuk berdamai dan mencapai kesepakatan karena yang mereka utus ialah Suhail bin Amr.

     Suhail duduk berhadapan dengan Rasulullah dan terjadilah perundingan yang berlangsung lama di antara mereka dan berakhir dengan tercapainya nota kesepakatan damai. Dalam perundingan ini Suhail berusaha mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Quraisy. Hal ini dipermudah oleh toleransi luhur dan mulia dari Rasulullah yang berlangsung saat negosiasi dalam perdamaian tersebut.

     Hari terus bergulir hingga tibalah tahun 8 H. Rasulullah bersama kaum Muslimin berangkat untuk membebaskan Mekkah, yaitu setelah Quraisy melanggar perjanjian dan ikrar mereka dengan Rasulullah, serta orang-orang Muhajirin pun kembali ke kampung halaman mereka setelah mereka dulu diusir secara paksa. Mereka kembali bersama orang-orang Anshar, yang dahulu telah membawa mereka berlindung di Madinah dan mengutamakan mereka daripada diri sendiri. Islam kembali secara keseluruhannya dan mengibarkan panji-panji kemenangannya di angkasa luas. Mekkah pun membukakan semua pintunya.

     Orang-orang musyrik hanya bisa berdiri tanpa bisa berbuat apa-apa. Menurut anda, apakah nasib yang akan dialami oleh mereka sekarang ini? Apa gerangan yang akan diterima oleh orang-orang yang telah menyalahgunakan kekuatan mereka selama ini terhadap kaum Muslimin dengan melakukan pembunuhan, pembakaran, penyiksaan, dan membuat kelaparan?

     Rasulullah yang sangat pengasih itu tidak akan membiarkan mereka terlalu lama di bawah tekanan perasaan yang sangat pahit dan getir ini. Dengan dada yang lapang dan sikap yang lunak dan lembut, beliau menghadapkan wajah kepada mereka sambil bersabda dengan getaran dan irama suara bagai siraman air kasih sayang berkumandang di telinga mereka, “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian apakah yang akan aku lakukan terhadap kalian?

     Mendengar itu, sosok yang sebelumnya menjadi musuh Islam, Suhail bin Amr maju memberikan jawaban, “Kami yakin engkau akan berbuat baik karena engkau adalah saudara kami yang mulia, putra saudara kami yang mulia.

     Sebuah senyuman bagaikan cahaya, tersungging di kedua bibir Rasulullah kekasih Allah itu, lalu bersabda, “Pergilah kalian karena kalian semua bebas.

     Kata-kata Rasulullah yang baru saja memperoleh kemenangan ini semestinya tidak akan diterima begitu saja oleh orang yang masih mempunyai perasaan, kecuali dengan hati yang telah menjadi peleburan dan perpaduan antara rasa malu, ketundukan, dan penyesalan.

     Namun, saat kejadian ini, Ikrimah bin Abu Jahal berusaha melarikan diri karena takut akan pembalasan kaum Muslimin yang akan ditimpakan kepadanya.

     Mengenai ini, Abu Ishaq meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah berhasil menaklukkan kota Makkah, maka Ikrimah berkata, “Aku tidak akan tinggal di tempat ini!" Setelah berkata demikian, dia pun pergi berlayar dan memerintahkan supaya isterinya membantunya. Akan tetapi isterinya berkata, "Hendak kemana kamu wahai pemimpin pemuda Quraisy? Apakah kamu akan pergi kesuatu tempat yang tidak kamu ketahui?" Ikrimah pun melangkahkan kakinya tanpa sedikitpun memperhatikan perkataan isterinya. 

     Ketika Rasulullah bersama para sahabat lainnya telah berhasil menaklukkan kota Makkah, maka kepada Rasulullah isteri Ikrimah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ikrimah telah melarikan diri ke negeri Yaman karena ia takut kalau-kalau kamu akan membunuhnya. Justru itu aku memohon kepadamu supaya engkau berkenan menjamin keselamatannya." Rasulullah pun menjawab, "Dia akan berada dalam keadaan aman!" Mendengar jawaban itu, maka isteri Ikrimah memohon diri dan pergi untuk mencari suaminya.

     Di saat yang sama, di pesisir Tihamah, ia akan menaiki sebuah kapal yang hendak membawanya ke daerah Yaman. Seketika itu juga, sang nahkoda kapal mengatakan agar ia menyucikan dirinya, ketika ditanyakan tentang apa yang harus dilakukannya, sang nahkoda berkata, “Ucapkanlah kalimat, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.

     Maka, dengan nada membentak, Ikrimah berkata, “Tidak ada yang menyebabkan aku melarikan diri dari negeriku, kecuali dari kalimat yang baru saja engkau ucapkan!

     Sang nahkoda tetap mendesaknya agar mengucapkan kalimat tersebut, bahkan ia mengancamnya tidak akan membawanya berlayar ke tempat tujuannya. Dalam suasana yang menegangkan ini, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya yang tak lain adalah Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam, isterinya sendiri yang telah memeluk Islam.

     Ikrimah pun menghentikan pertengkarannya dengan sang nahkoda dan segera berpaling kepada istrinya. Maka, Ummu Hakim berkata kepadanya dari kejauhan, “Wahai putra pamanku, aku telah datang kepadamu dari sisi orang yang paling banyak menyambung silaturahmi, sebaik-baik manusia dan semulia-mulia manusia. Maka, janganlah engkau membinasakan dirimu sendiri.

     Setelah ia mendekat, ia berkata lagi, “Sesungguhnya aku telah meminta jaminan keselamatan untukmu dari Rasulullah.

     Maka, dengan rasa setengah percaya Ikrimah bertanya, “Engkau telah melakukannya?

     “ya, aku telah berbicara dengan Rasulullah dan meminta jaminan keselamatan untukmu. Dan beliau memberikan jaminan keselamatan itu untukmu!” jawab istrinya.

     Nampaknya tidak ada pilihan lain bagi Ikrimah, karena sang nahkoda kapal menolaknya untuk mengantarkannya ke Yaman sebelum ia mengucapkan syahadat, yang artinya ia harus memeluk Islam. Padahal hal itulah yang membuatnya melarikan diri menuju ke Yaman. Akhirnya ia pun memenuhi permintaan istrinya dan mereka berdua pun kembali ke Mekkah.

     Sedangkan di Mekkah, Rasulullah yang telah mengetahui bahwa Ummu Hakim berhasil membawa kembali suaminya, bersabda kepada para sahabat, “Ikrimah bin Abu Jahal akan datang kepada kalian sebagai orang yang beriman dan Muhajirin, maka janganlah kalian mencaci bapaknya, karena cacian terhadap orang yang sudah meninggal akan menyakiti orang yang masih hidup, padahal cacian itu tidak terdengar oleh orang yang sudah meninggal.

     Ketika Ikrimah dan istrinya memasuki majelis Rasulullah, beliau berdiri dan menyambutnya dengan gembira. Ketika Rasulullah duduk kembali, Ikrimah pun duduk di hadapan beliau dan mengucapkan kalimat syahadat, tanda keislamannya. Setelah itu, ia memohon kepada Rasulullah untuk mendoakannya agar Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahannya yang lampau dengan berkata, “Ya Rasulullah, hendaknya engkau memohankan ampun bagiku atas setiap permusuhanku terhadapmu, atas setiap perjalanan yang untaku kupacu kencang untuk memusuhimu, dan di mana pun aku menemuimu untuk menyakitimu, juga atas setiap ucapan yang keluar dari mulutku, di hadapanmu atau di belakangmu.”  Rasulullah pun memenuhi permintaannya dengan mendoakannya dan para sahabat yang hadir pun mengamininya.

     Maka, seketika itu juga wajahnya pun berseri-seri bagaikan matahari yang menyinari di malam yang kelam. Ia pun berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah. Aku akan mengorbankan hartaku di jalan Allah dua kali lebih banyak daripada harta yang kupakai untuk menghalangimu di jalan Allah sebelum ini. Dan aku akan berperang di jalan Allah dua kali lebih banyak daripada peperangan yang telah aku lakukan untuk menghalangimu di jalan Allah sebelum ini.

     Sesuai dengan janjinya, ia selalu menyertai Rasulullah dalam setiap peperangan yang terjadi setelah keislamannya itu. Dalam Perang Hunain, di mana pada awalnya pasukan Muslimin sempat terdesak dan kocar-kacir, Suhail bin Amr menyertai perang itu walaupun belum menerima hidayah dari Islam, berkomentar dengan sinis, “Muhammad dan para sahabatnya tidak akan bisa memperbaiki apa yang telah hilang dari mereka, dan tidak akan pernah bisa mendapatkannya lagi.

     Mendengar perkataannya tersebut, Ikrimah membantahnya dengan berkata, “Ini bukanlah ucapan yang tepat dan urusan ini sedikit pun bukan hak Muhammad. Jika hari ini ia dikalahkan, maka besok ia akan memiliki kesudahannya sendiri.

     Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Okromah ini, Suhail berkata dengan heran, “Demi Allah, sesungguhnya zaman di mana engkau memusuhi Muhammad baru saja engkau tinggalkan, wahai Ikrimah.

     “Wahai Abu Yazid (Suhail), Demi Allah dahulu kita telah memacukan kuda kita untuk tujuan yang sia-sia, sedangkan akal kita adalah akal kita sendiri. Dahulu kita menyembah batu yang tidak bisa memberi manfaat dan madharat apapun kepada kita.” Sahut Ikrimah.

     Akhirnya Suhail bin Amr tidak mampu lagi mendebat pernyataan Ikrimah tersebut.

     Ikrimah pernah ditugaskan oleh Rasulullah untuk menjadi pemungut zakat dari Bani Hawazin ketika beliau sedang menunaikan ibadah haji. Bahkan ketika Rasulullah wafat, ia sedang mengemban tugas Rasulullah di daerah Tabalah, sebuah kota di Yaman yang cukup terkenal.

     Ikrimah sendiri akhirnya mati syahid dalam Perang Yarmuk, di mana pasukan Muslimin melawan pasukan Romawi pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab.

     Bagaimana kisahnya?

     Ketika Perang Yarmuk sedang berkecamuk, Ikrimah maju dengan hati yang bersemangat. Ia memiliki semangat jihad yang tinggi, yang akan ia gunakan sebagai tebusan atas masa lalunya. Melihat tindakannya itu, Khalid bin Al-Walid mengejarnya sambil berteriak, “Janganlah engkau bertindak bodoh, wahai Ikrimah. Kembalilah, karena kematianmu adalah kerugian besar bagi kaum Muslimin.

     Namun, Ikrimah tidak mempedulikan peringatan tersebut. Seketika itu juga ia menghampiri Abu Ubaidah bin Al-Jarrah sembari berkata, “Aku sudah bertekad mati syahid, apakah engkau mempunyai pesan penting yang akan kusampaikan kepada Rasulullah, bila aku menemuinya nanti?” Abu Ubaidah menjawab, “Ada, katakan kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya kami telah menemukan bahwa apa yang dijanjikan Allah kepada kami, memang benar!

     Ia pun langsung melesat maju menyerang bagai anak panah lepas dari busurnya. Ia menyerbu ke tengah-tengah pertempuran dahsyat, merindukan tempat peraduan dan pembaringannya. Ia menyerang dengan sebilah pedang, dan dilawan oleh seribu pedang, hingga menemui kesyahidan.

     Itulah dia Ikrimah bin Abu Jahal. Dia memang anak Abu Jahal, namun sifatnya sungguh berbanding terbalik dengan ayahnya. Ketika tekanan orang Romawi semakin berat, ia berseru kepada kaum Muslimin dengan suara lantang, “Sungguh, aku telah lama memerangi Rasulullah pada masa yang lalu sebelum Allah memberikan petunjuk kepadaku untuk masuk Islam. Apakah pantas aku lari dari musuh-musuh Allah hari ini?

     Kemudian ia berteriak, “Siapakah yang bersedia dan berjanji untuk mati?” sejumlah orang berjanji kepadanya untuk berjuang sampai mati, kemudian mereka menyerbu ke jantung pertempuran bersamaan. Bukan hanya mencari kemenangan, melainkan bila kemenangan itu harus ditebus dengan jiwa dan raga, mereka sudah siap untuk mati syahid. Allah telah menerima pengorbanan dan baiat mereka. Mereka semuanya gugur syahid.

     Di akhir pertempuran, di bumi Yarmuk berjejer tiga mujahid Muslim yang terkapar dalam keadaan kritis. Mereka menderita luka yang sangat parah; Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan Ikrimah bin Abu Jahal.

     Ada pula orang-orang yang luka berat, dia adalah Al-Harits. Seseorang membawakan air kepadanya. Ketika air didekatkan ke mulutnya, ia melihat Ikrimah dalam keadaan seperti yang ia alami. "Berikan dulu kepada Ikrimah," kata Al-Harits. Ketika air didekatkan ke mulut Ikrimah, ia melihat Ayyasy menengok kepadanya. "Berikan dulu kepada Ayyasy!" ujarnya. Ketika air minum didekatkan ke mulut Ayyasy, dia telah meninggal. Orang yang memberikan air minum segera kembali ke hadapan Harits dan Ikrimah, namun keduanya pun telah meninggal pula.


     Begitulah keadaan mereka, sehingga air tersebut tidak seorangpun di antara mereka yang dapat meminumnya, hingga akhirnya mereka semua mati syahid. Itulah yang terjadi. Mereka rela menderita kehausan sewaktu ruh-ruh mereka melayang. Inilah contoh teladan yang paling indah tentang pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain. Semoga Allah melimpahkan kurnia dan rahmat-Nya kepada mereka bertiga. 




▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
الحمد لله رب العالمين
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Copyright @ 2014 Rotibayn.

Design Dan Modifikasi SEO by Pendalaman Tokoh | SEOblogaf